KASIH SAYANG
HUBUNGAN ERAT DAN KASIH SAYANG ANTARA AHLUL BAIT NABI SAW DENGAN SELURUH SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM
Oleh:
Shaleh bin Abdul Qadir Ad Darwisy
Hakim Pengadilan TinggiAl Qathif
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya. Kami juga memohon perlindungan kepada-Nya terhadap keburukan-keburukan hawa nafsu kami, serta berlindung terhadap akibat perbuatan buruk kami. Siapa saja yang diberi karunia hidayah oleh Allah, niscaya ia akan mendapatkan hidayah. Barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada siapa pun yang dapat memberinya petunjuk.
Sesungguhnya Rasulullah SAW merupakan pemimpin anak cucu Adam. Hal ini merupakan kenyataan yang telah disepakati seluruh kaum muslimin. Kesepakatan ini merupakan karunia yang sangat besar bagi umat Islam. Alhamdulillah.
Pendapat sebagian umat Islam yang menganggap beberapa imam tertentu melebihi Rasulullah SAW baik dalam ilmu maupun hal lain[1]--tidak dapat dibenarkan. Riwayat-riwayat seperti itu pasti memiliki riwayat lain yang menerangkan maknanya atau bertentangan. Sehingga riwayat itu tidak dapat dijadikan pegangan.
Kemuliaan dan kedudukan Rasulullah SAW merupakan kebenaran yang tidak diingkari siapapun. Rasulullah SAW adalah pemilik Syafaat Al Kubra (syafaat teragung), pemilik telaga Al Haudhl, dan berkedudukan tinggi di dunia dan akhirat. Barakah Rasulullah SAW juga terlimpah kepada para kerabat beliau, Ahlul Bait, dan juga para sahabat radhliyallahu 'anhum.
Ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits mutawatir yang menegaskan bahwa Ahlul Bait (sanak kerabat Nabi SAW) memiliki kedudukan yang sangat mulia berjumlah sangat banyak. Ayat dan hadits tersebut menyebutkan orang-orang yang hidup bersama Rasulullah SAW dan keturunan mereka. Ayat dan hadits itu juga menerangkan kemuliaan dan fadhilah (keutamaan) mereka.
Di dalam lembaran-lembaran ini, kami akan membahas tentang jalinan kasih sayang di antara para sahabat radhliyallahu 'anhum tersebut. Seharusnya kita tidak merasa bosan membahas tentang sahabat Rasulullah SAW dan keutamaan-keutamaannya. Juga kita tidak merasa bosan membahas tentang hubungan mereka dengan Nabi. Mereka mendapatkan predikat mulia, SAHABAT, karena mereka beriman dan hidup bersama Nabi SAW.
Derajat mereka masing-masing di Jannah berbeda sesuai dengan amal serta jihad mereka bersama Rasulullah. Demikian pula kedudukan mereka selama di dunia, baik dari kalangan Muhajirin, Anshar, maupun orang-orang sesudah mereka. Allah menjanjikan kepada mereka semua karunia yang baik. Allah Ta'ala berfirman:
لاَ يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.
"Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (kota Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka balasan yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS: Al Hadiid 10).
Seluruh sahabat Nabi memiliki fadhilah dan keutamaan. Kita harus memahami keagungan nilai sahabat Rasul SAW. Hal itu merupakan kedudukan yang harus diakui dan dihormati. Status kemuliaan masing-masing sahabat adalah sesuai dengan amal perbuatan mereka. Sahabat nabi terbagi menjadi beberapa golongan, namun yang paling tinggi adalah: As-Sabiqun Al Awwalun (mereka yang terdahulu masuk dan berjuang di dalam Islam). Mereka inilah yang memiliki derajat tertinggi. Orang yang memiliki status sahabat sekaligus kerabat (mereka adalah keluarga suci; semoga Allah berkenan melimpahkan salam dan ridha kepada mereka semua). Mereka memperoleh status ‘sahabat’ dan juga ‘kekerabatan’. Klasifikasi mereka juga sesuai dengan amal-amal kebajikan masing-masing.
Membahas penyebab-penyebab perpecahan di kalangan umat dan cara menanggulanginya merupakan kewajiban setiap muslim. Kali ini kita akan membahas bersama tentang permasalahan yang besar, yang telah berdampak luas pada umat Islam. Kami akan membahas secara ringkas seputar jalinan kasih sayang para sahabat Nabi SAW yang termasuk keluarga Nabi alaihimussalam dan kaum muslimin lainnya. Kasih sayang di antara mereka tetaplah terjalin sekalipun pernah terjadi peperangan di antara mereka. Inilah hakekat yang ada, walaupun para pembohong sengaja menyembunyikannya, dan para perawi sengaja melewati hakekat ini begitu saja, tanpa pernah membahasnya dalam riwayat mereka. Hakekat ini akan tetap menjadi cahaya putih yang akan membantah anggapan-anggapan dan khayalan-khayalan kebanyakan penulis. Khayalan yang digunakan dengan baik oleh pengikut hawa nafsu dan politisi yang ambisius beserta musuh-musuh Islam, demi mencapai tujuan mereka, sekaligus memecah belah dan menyilangselisihkan umat ini.
Kami berseru kepada para penelaah dan penulis sejarah Islam. Bahkan juga kepada mereka yang menyerukan persatuan umat. Kami berseru kepada mereka yang memperingatkan umat terhadap bahaya globalisasi dan dampaknya serta keharusan menyatukan barisan. Kami juga berseru kepada mereka yang semangat terhadap Islam... Kami katakan kepada kalian: "Mengapa kita mesti mengorek-ngorek peristiwa-peristiwa dan masalah-masalah sejarah yang berdampak perpecahan dan menjerumuskan kita ke dalam permusuhan tanpa adanya penelitian yang benar? Adakah hal ini sengaja dilakukan untuk memangsa masyarakat awam ataukah dalam rangka mengumpulkan harta?
Sungguh Anda akan heran terhadap banyak para penulis yang menghambur-hamburkan waktu dan mengerahkan daya upaya mereka demi masalah-masalah sejarah dan pemikiran-pemikiran yang berdasar pada riwayat-riwayat dha'if, khayalan, hawa nafsu, dan sebagainya. Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan, bahwa dengan menceritakan riwayat-riwayat palsu itu dia telah membuat prestasi. Ia beranggapan bahwa ia telah sampai pada kesimpulan ilmiah! Padahal sebenarnya, mereka telah berhasil memecah belah umat.
Bila Anda bertanya kepada mereka tentang hasil kerja dan upaya mereka, maka Anda tidak akan memperoleh jawaban! Paling bagus mereka akan menjawab: "Hal ini kami lakukan demi keilmuan saja!" Lalu manakah dasar-dasar ilmiah yang dijadikan landasan?!
Sebelum ini, di dalam risalah "Sahabat Nabi" telah dijelaskan hubungan erat antara Rasulullah SAW dengan para sahabat yang mulia. Termasuk tugas Rasul SAW adalah mensucikan orang-orang yang beriman kepada beliau. Mereka terdiri dari orang-orang buta huruf, yang dikaruniai Allah kemuliaan iman terhadap Nabi SAW dan hidup bersama beliau.
Allah Ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ.
"Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (as-Sunah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS: Al Jumu'ah 2).
Jadi, mereka inilah orang-orang yang dibimbing, disucikan, dan dibina Rasulullah SAW.
Sebelumnya telah dibahas tentang hubungan Rasul SAW selaku seorang komandan pasukan perang. Dibahas pula hubungan Rasul SAW selaku seorang teladan, selaku seorang tetangga, selaku seorang pimpinan (imam) bagi mereka yang berada di bawah kekuasaan beliau, yaitu para sahabat beliau.
Sebelumnya telah dibahas peran-peran tersebut di dalam risalah sebelumnya. Jika Anda berkehendak, silahkan Anda telaah pada pasal pertama.[2]
***
Anda pasti yakin, bahwa Rasul SAW telah melaksanakan seluruh perintah Allah Ta'ala dengan sempurna. Yaitu: menyampaikan risalah, mendidik para sahabat, membina mereka, dan sebagainya. Di antara hasil dari upaya tarbiyah ini adalah sifat-sifat terpuji yang akhirnya menjadi ciri khas para sahabat radhliyallahu 'anhum. Allah menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi umat manusia. Hal ini cukup untuk menjelaskan sifat-sifat terpuji para sahabat. Allah Ta'ala berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ.
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia." (QS: Ali Imran 110).
Renungkanlah firman Allah Ta'ala: "Dilahirkan" (ukhrijat). Siapakah kiranya yang telah melahirkan mereka dan menempatkan mereka pada derajat kemuliaan seperti itu?
Hal itu serupa dengan firman Allah Ta'ala:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا.
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu."(QS: Al Baqarah 148).
Terdapat banyak sekali ayat-ayat Allah dalam Al Qur’an yang menjelaskan sifat sahabat, memuji, dan menyebut mereka. Sebelumnya telah kami jelaskan tentang sikap-sikap mereka dan ayat-ayat yang diturunkan berkaitan dengan hal itu, sehingga tidak perlu diulang kembali.
***
DI ANTARA SIFAT-SIFAT SAHABAT-SAHABAT RASUL SAW
Saya yakin Anda masih ingat, bahwa sahabat adalah generasi istimewa yang telah memperoleh kedudukan tinggi dan terhormat. Kedudukan mereka tidak mungkin dijangkau oleh siapa pun yang hidup setelah mereka. Mereka telah beruntung karena pernah hidup dan menemani Nabi. Beliau sendirilah yang telah membina, mengajar, dan mendidik mereka. Bersama mereka pula-lah beliau SAW memerangi orang-orang kafir. Para sahabat itu pula yang ikut serta membela beliau.
Kita akan memilih satu saja dari sifat-sifat mereka yang harus dipelajari, dibahas, dan diperjelas. Untuk kemudian disebarluaskan agar diketahui seluruh muslimin dari segala kelompok dan golongan.
Tahukah Anda sifat apakah itu?
Sifat itu adalah kasih sayang.
Mengapa harus membicarakan sifat tersebut?
Bersediakah Anda, wahai pembaca budiman, untuk bersama-sama dengan saya berpikir sejenak mengungkap rahasia sifat mulia ini? Anda akan mendapati banyak sebab yang mendorong kita berpikir tentang hal ini. Tetapi di sini kami hanya akan menyebutkan beberapa sebab secara ringkas di dalam risalah ini:
Penyebab Pertama:
Penyebab pertama berkaitan dengan sifat "Penyayang" itu sendiri dengan segala kandungan maknanya. Juga karena terdapat banyak ayat Al Quran dan hadits-hadits dari Nabi yang membahas tentang hal ini.
Allah SWT adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah Ta'ala berfirman melukiskan sifat Rasulullah SAW:
لَقَدْ جَائَكُمْ رَسُولٌ مِـــــــنْ أَنْفُسِكُمْ
عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيــــْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ.
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS: At-Taubah 128).
Rasulullah SAW menjelaskan: "Barangsiapa yang tidak mengasihi tidak akan dikasihi." (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahasan mengenai dengan sifat kasih sayang sangat panjang lebar. Ayat dan hadits yang menerangkannya pun banyak sekali. Anda pasti telah mengetahuinya.
Penyebab Kedua:
Allah SWT telah memuji sahabat-sahabat Rasulullah SAW dengan menyebutkan bahwa mereka memiliki sifat kasih sayang, bukan dengan sifat-sifat lain. Hal ini mengandung hikmah dan manfaat yang penting dan mendasar. Hal ini juga termasuk mukjizat ilmiah karena Allah menyebutkan bahwa mereka memiliki sifat tersebut. Orang yang merenungkannya niscaya akan dapat melihat mukjizat dan hikmahnya. Nash tersebut secara khusus menyebutkan bahwa para sahabat memiliki rasa "kasih sayang" telah terjalin sesama mereka. Mengapa Allah memuji dan menegaskan bahwa mereka memiliki sifat kasih sayang? Bukannya memuji mereka dengan sifat yang lain? Sebab, hal itu mengandung bantahan atas tuduhan-tuduhan yang pada masa itu belum muncul dan belum tertulis. Kemudian tuduhan-tuduhan itu muncul pada masa berikutnya dan menjadi konsumsi tukang dongeng dan generasi sesudah mereka. Allah-lah yang lebih mengetahuinya.
Allah Ta'ala berfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ.
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud."
(QS: Al Fath 29).
Penyebab Ketiga:
Jika telah terbukti bahwa para sahabat Nabi saling berkasih sayang di antara sesama mereka dan sifat kasih sayang itu mengalir dalam relung hati mereka, maka hal ini akan membantah riwayat-riwayat dan anggapan-anggapan yang menggambarkan bahwa para sahabat Rasulullah SAW adalah makhluk liar dan buas yang saling mendengki di antara sesama mereka. Hal ini juga membantah bahwa kehidupan mereka penuh dengan intrik dan permusuhan!
Apabila dalam diri Anda sudah meresap sebuah keyakinan bahwa para sahabat itu saling berkasih sayang, dan keyakinan tersebut sudah bersemayam di lubuk hati Anda, hati Anda menjadi tenteram dan sirnalah rasa "dengki dan benci" terhadap para sahabat Nabi. Terhadap mereka yang wajib kita doakan, akrena Allah memerintahkan kita untuk mendoakan mereka. Allah Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَِلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ.
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang"."(QS: Al Hasyr 10).
Dasar Keempat:
Salah satu metode ilmiah yang digunakan para ilmuwan dan peneliti yaitu memperhatikan matan dan sanad setiap riwayat yang ada. Menelaah matan-matan riwayat itu setelah terbukti bahwa sanad-nya kuat, kemudian membandingkan riwayat-riwayat tersebut dengan nash-nash Al Quran dan kaidah pokok agama Islam. Seorang peneliti harus memadukan seluruh riwayat yang ada dalam sebuah pokok bahasan. Inilah metode para ilmuwan sejati yang harus digunakan dalam meneliti riwayat-riwayat sejarah.
Tetapi, yang perlu disesalkan, terdapat banyak penelaah yang mengabaikan penelitian sanad-sanad tersebut. Mereka merasa cukup dengan keberadaan riwayat-riwayat itu dalam kitab sejarah atau kitab sastra! Mereka yang menaruh perhatian pada kaidah sanad terkadang lupa meneliti matan (text) dan membandingkannya dengan Al Quran.
Pembaca budiman, sebelum Anda menilai dan menuduh membabi buta. Sebelum Anda menghukumi berlandaskan sejarah yang Anda ketahui, berdasar kebiasaan dan keyakinan keluarga serta perasaan, renungkanlah ayat-ayat yang telah kami sebutkan di atas. Anehnya, dalil-dalil tadi jarang kita dengar, padahal sangat dekat dengan kita[3]. Ayat-ayat tersebut memiliki makna yang sangat kuat dan jelas, misalnya ayat terakhir surat Al Fath:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا.
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar."(QS: Al Fath 29).
Juga Allah Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَِلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ
فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَئـُوفٌ رَحِيمٌ.
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang"." (QS: Al Hasyr 10).
Bacalah ayat ini, renungkanlah baik-baik, semoga Allah berkenan menjaga anda.
PEMBAHASAN PERTAMA
MAKNA NAMA
Nama seseorang selalu menunjukkan dirinya. Nama merupakan pembeda, yang membedakan seseorang dengan orang lain. Hal ini berlaku bagi seluruh manusia. Orang yang berakal tidak pernah ragu akan pentingnya nama. Sebab, melalui nama orang yang dilahirkan akan dikenal dan dibedakan dari saudara-saudaranya sendiri maupun orang lain. Nama itu akan menjadi tanda bagi diri yang bersangkutan dan juga bagi putra-putrinya kelak. Seseorang pasti akan mati, sedang namanya tetap hidup sepeninggalnya.
Kata "Al Ismu" berasal dari kata "As Sumuw" yang bermakna mulia dan tinggi. Atau berasal dari kata: "Al Wasmu" yang berarti tanda. Kedua makna di atas menegaskan akan pentingnya nama bagi seseorang.
Nama seseorang melambangkan agama dan juga tingkatan akalnya. Pernahkah Anda mendengar ada seorang Nashrani atau Yahudi yang memberi nama putra-putri mereka dengan nama "Muhammad" (SAW)?
Ataukah ada di kalangan muslimin yang memberi nama anaknya dengan nama Lata dan Uzza, selain orang yang kurang akalnya?
Seorang anak terikat dengan ayahnya melalui nama. Seseorang dipanggil dengan nama pilihan Ayah dan keluarganya. Jadi, umat manusia selalu menggunakan nama. Kata orang: "Melalui nama Anda, saya dapat mengerti bapak Anda."[4].
Pentingnya Nama dalam Islam
Dalam rangka agar mengerti pentingnya nama dalam Islam, Anda hanya cukup menyimak kisah nabi SAW yang telah mengubah nama-nama beberapa sahabatnya. Bahkan Rasulullah SAW juga mengganti nama kota beliau yang dulunya bernama "Yatsrib" menjadi "Madinah". Beliau melarang umatnya memberi nama seseorang dengan nama “Malikul Amlak” yang berarti "Raja Diraja", dan nama lain yang serupa. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya nama orang yang paling hina di sisi Allah adalah orang yang diberi nama raja diraja."
Rasululullah SAW menganjurkan pada kita agar memberi nama anak kita dengan Abdullah (hamba Allah), Abdurrahman (hamba Allah Yang Maha Pemurah), dan nama-nama sejenis yang mengandung makna ibadah, pengabdian dan ketundukan kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Rasulullah SAW bersabda: "Nama yang paling disukai Allah, adalah Abdullah dan Abdurrahman."
Rasulullah SAW sangat suka kepada nama yang baik. Beliau berharap dengan nama baik itu akan membawa kebaikan pula. Hal itu sudah dikenal sebagai suatu ajaran dari beliau. Ulama ushul fiqh dan pakar bahasa telah sepakat bahwa nama mengandung makna tertentu. Masalah ini dan segala bahasan yang bercabang dari hal ini telah dibahas panjang lebar dalam kitab-kitab bahasa arab dan ushul fiqh.
APAKAH MASUK AKAL?
Pembaca budiman...
Hendakanya Anda tidak terburu-buru, dan jangan heran terlebih dahulu. Mari kita lanjutkan bersama saya dan jawablah pertanyaan berikut:
· Dengan nama apa Anda memberi nama putra Anda?
· Apakah Anda memilih nama yang Anda sukai dan disukai ibunya, dan keluarganya?
· Apakah Anda memberi nama putra Anda dengan nama musuh Anda?
Subhanallah!
Sudah barang tentu kita akan memilih nama bagi diri kita sendiri dengan nama-nama yang mengarah pada sesuatu yang bermakna bagi kita. Namun kenapa kita tidak dapat menerima hal ini (memberi nama yang bermakna) bagi manusia-manusia terbaik? Lalu kita katakan: "Tidak! Mereka memilih nama putra-putri mereka karena masalah politik dan sosial, tidak sebagaimana layaknya manusia biasa!” Apakah mereka tidak mengenal makna nama? Apakah nama tidak bermakna bagi mereka?
Orang-orang yang berakal sehat—para imam dan orang-orang terhormat—mereka dilarang menerapkan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka dilarang memberi nama anak mereka dengan nama-nama orang yang mereka cintai. Mereka juga dilarang memberi nama dengan nama saudara-saudara mereka seagama sebagai wujud kecintaan dan penghargaan pada si pemilik nama. Malah mereka dianggap memberi nama putra-putri mereka dengan nama-nama musuh mereka sendiri! Dapatkah Anda mempercayai hal itu?
Agar Anda ketahui, hal ini bukan satu kebetulan yang hanya terjadi pada seorang anak, namun mereka memberi nama banyak anak mereka dengan nama-nama itu. Hal ini juga bukan saat di mana permusuhan telah terlupa. Bahkan pemberian nama itu dilakukan pada masa-masa puncak permusuhan (demikian menurut anggapan mereka).
Tapi menurut pendapat kami: "Pemberian nama-nama tersebut justru pada saat puncak rasa kasih sayang di antara mereka…"
Hal ini merupakan persoalan penting yang harus ditelaah dan diperhatikan. Sebab di dalamnya terkandung banyak fakta, makna, dan merupakan sanggahan terhadap dongeng-dongeng dan kisah-kisah khayalan. Di dalamnya juga terkandung seruan bagi jiwa dan perasaan. Di dalamnya terkandung penjelasan yang memuaskan bagi orang-orang yang berakal sehat… Sehingga tidak mungkin dapat disanggah ataupun diselewengkan maknanya.
Kesimpulan dari Pembahasan tersebut:
Penjelasan 1 s/d 3: Karena sangat cinta kepada tiga khalifah, maka Sayyidina Ali a.s. memberi nama putra-putra beliau dengan nama-nama mereka. Yaitu: Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib. Beliau mati syahid di Karbala' bersama saudaranya, yaitu Husein a.s.
Umar bin Ali bin Abi Thalib. Beliau ini mati syahid di Karbala' bersama saudara beliau Husein a.s.
Utsman bin Ali bin Abi Thalib. Beliau ini juga mati syahid di Karbala' bersama saudara beliau Husein a.s.
Penjelasan 4 s/d 6: Hasan a.s. memberi nama putra-putra beliau dengan nama: Abu Bakar; Umar; dan Thalhah bin Hasan. Ketiga-tiganya mati syahid di Karbala' bersama paman mereka Husein a.s.
Penjelasan 7: Husein a.s. memberi nama putra beliau dengan nama Umar bin Husein.
Penjelasan 8 – 9: Sang pemimpin ulama tabi'in Ali bin Husein Zainal Abidin, yaitu imam keempat (a.s.) juga memberi nama putri beliau dengan nama Aisyah. Juga memberi nama Umar, dan menurunkan keturunan bagi beliau sesudah beliau wafat.[5]
Demikian juga dengan para Ahlul Bait lainnya dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib, keturunan Ja'far bin Abi Thalib, Muslim bin Aqil, dan selain mereka. Tetapi di sini kita tidak akan menyebutkan seluruh nama-nama tersebut panjang lebar. Yang menjadi tujuan kita hanyalah untuk menjelaskan maksud, yaitu penjelasan tentang nama putra-putra Ali, Hasan, dan Husein (alahimussalam).
DIALOG
Di kalangan Syi'ah ada orang-orang yang tidak percaya bahwa Ali dan putra-putri beliau (alaihimussalam) telah memberi nama putra-putri mereka dengan nama-nama tersebut. Tetapi hal ini hanya bualan orang-orang yang tidak memiliki wawasan tentang nasab keturunan dan nama-nama. Bahkan mereka adalah termasuk orang yang bacaannya terbatas. Di samping itu alhamdulillah, jumlah mereka hanya sedikit.
Bahkan kelompok ini telah disanggah imam-imam besar serta ulama Syi'ah sendiri. Sebab bukti-bukti keberadaan nama-nama tersebut sangat jelas dari fakta yang terjadi dan keberadaan keturunan mereka. Begitu juga tercantum di dalam kitab-kitab Syi'ah yang mu'tamad (dijadikan rujukan). Bahkan di dalam riwayat-riwayat yang mengisahkan tragedi Karbala', yang mana telah gugur Abu Bakar bin Ali bin Abu Thalib bersama Imam Husien. Demikian pula Abu Bakar bin al-Hasan bin Ali (alaihimussalam), yang telah kami jelaskan di atas.
Mereka telah gugur sebagai syahid bersama Husein. Bahkan hal itu dijelaskan oleh Syi'ah di dalam kitab-kitab mereka sendiri. Tetapi Anda jangan terkejut manakala Anda tidak mendengar nama-nama ini di Huseiniyyat dan perayaan-perayaan hari Asyura'. Sebab, tidak disebutnya mereka itu bukan berarti mereka tidak pernah ada.
Ketika itu Umar bin Ali bin Abi Thalib dan Umar bin al-Hasan, termasuk penunggang kuda yang diakui oleh mereka sebagai orang-orang yang bertempur sekuat tenaga pada peristiwa itu.
Masalah pemberian nama oleh imam-imam alaihimussalam kepada putra-putra mereka dengan nama Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, dan nama-nama para sahabat besar lainnya merupakan masalah yang tidak pernah terjawab dengan jawaban yang jelas dan memuaskan oleh Syi'ah. Sebab, tidak mungkin kita memberi nama tanpa dasar dan tanpa makna. Kita juga tidak mungkin mengangggap itu sebuah rekayasa yang sengaja dibuat oleh Ahlu Sunah dan dimasukkan ke dalam kitab-kitab Syi'ah! Sebab hal ini berarti tuduhan terhadap seluruh riwayat-riwayat yang ada dalam kitab-kitab Syi’ah. Sehingga setiap riwayat yang tidak mengenakkan bagi Syi'ah, kemudian mungkin saja mereka mengatakan: "Itu adalah rekayasa, dan dusta."
Bahkan bisa saja setiap riwayat yang tidak sesuai dengan hawa nafsu seorang ulama, lalu dengan mudah ia menolaknya seraya mengatakan: "Itu rekayasa."!
Apalagi dalam mazhab Syi’ah setiap ulama berhak menerima dan menolak riwayat tanpa ada kaidah dan patokan yang jelas.
***
Ada sebuah lelucon yang lucu sekaligus menyedihkan. Ada (dari kalangan mereka -pen) yang mengatakan, bahwa pemberian nama-nama dengan nama para sahabat besar tersebut, adalah untuk mencela dan mencaci maki mereka!
Ada juga yang mengatakan, bahwa pemberian nama tersebut atas dasar agar dapat merebut hati masyarakat. Sehingga imam memberi nama putra-putra mereka agar masyarakat merasa, mereka mencintai para khalifah tersebut dan ridha terhadap mereka! (--dengan kata lain mereka melakukan taqiyah) Subhanallah !!
Layakkah kita mengatakan bahwa Imam melakukan perbuatan untuk menipu pengikut mereka sendiri dan masyarakat umum? Mungkinkah sang Imam mengorbankan keturunannya sendiri demi tujuan seperti itu?
Siapakah orang yang ditakuti Imam sehingga beliau memberi nama anaknya dengan nama-nama di atas?
Keberanian dan harga diri Imam akan mencegah beliau untuk menghinakan dirinya sendiri dan anak-anaknya demi menjaga perasaan Bani Taym, atau Bani 'Ady, atau Bani Umayyah. Orang yang mempelajari sejarah para imam, niscaya ia akan mendapati kepastian bahwa para imam adalah salah satu manusia yang paling pemberani. Tidak seperti yang kita dapati dalam banyak riwayat dusta, yang menganggap beliau pengecut, tidak memberontak demi agama, harga diri dan kehormatannya. Sayangnya, riwayat seperti ini sangatlah banyak.
KESIMPULAN
Sebenarnya, apa yang telah dilakukan oleh para imam: yaitu Ali dan putra-putra beliau (alaihimussalam), adalah bukti terkuat, baik secara logika, jiwa, maupun realita yang terjadi. Apa yang mereka lakukan membuktikan besarnya rasa cinta Ahlul Bait kepada Khulafa' ar-Rasyidiin, juga kepada segenap sahabat Nabi SAW lainnya. Anda sendiri juga mengalami hal ini. Jadi, tidak ada alasan untuk menolaknya. Hal ini juga merupakan bukti kebenaran firman Allah Ta'ala:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ.
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud." (QS: Al-Fath 29).
Wahai pembaca budiman, cobalah mengulang-ulang bacaan ayat ini, renungkan maknanya, dan jangan ketinggalan renungkan juga sifat rahmat dan kasih sayang.
ooo 0 ooo
PEMBAHASAN DUA
MASALAH HUBUNGAN PERNIKAHAN
Pembaca budiman, belahan hati Anda, putri Anda, akan Anda serahkan kepada siapa? Relakah Anda jika putri Anda menikah dengan seorang penjahat? Atau menikah dengan seorang penjahat yang membunuh ibu dan saudaranya sendiri? Apa makna kata ipar dan keluarga bagi Anda?
Istilah "al-Mushaharah" menurut tata bahasa Arab; berasal dari kata "Shaahara". Dikatakan "Shaahartu al Qoum" (saya menjadikan mereka ipar), manakala saya menikahi seseorang dari mereka. Al-Azhari menjelaskan: Kata "ashshihru" mengandung makna kerabat dekat wanita yang berstatus muhrim, dan juga para wanita yang masih berstatus muhrim. Seperti kedua orang tua dan saudara-saudara perempuan…dst. Sebaliknya, kerabat dekat yang menjadi muhrim bagi suami adalah ipar (ashshihru) wanita tersebut."
Dengan begitu, ipar seorang lelaki, adalah kerabat istrinya, dan ipar seorang wanita adalah kerabat suaminya.
Kesimpulannya "periparan" atau masalah hubungan ipar menurut bahasa adalah kerabat dari pihak wanita. Meskipun kadang diterapkan juga pada pihak kerabat pihak lelaki. Allah SWT telah menjadikan hal itu sebagai bagian tanda-tanda kekuasaan-Nya. Allah Ta'ala berfirman:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا.
"Dan Dialah yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan ipar) dan Tuhanmu adalah Maha Kuasa." (QS: Al-Furqaan 54).
Renungkanlah kandungan ayat tersebut. Bagaimana Manusia dijadikan Allah bertalian dengan orang lain melalui keturunan dan periparan (mushaharah). Jadi mushaharah merupakan pertalian syar'i yang telah dijadikan Allah sebagai pendamping kata "keturunan". Sedang keturunan "nasab", artinya kerabat pihak ayah. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa makna "nasab" adalah seluruh kerabat baik dari pihak ayah maupun lainnya. Sebagaimana sudah dijelaskan, bahwa Allah mendampingkan antara kata "nasab" dan "mushaharah". Hal ini mengandung beberapa perkara yang sangat penting. Sehingga kita tidak boleh melupakannya.
PERIPARAN DAN SEJARAHNYA
Di kalangan masyarakat Arab, ipar mempunyai posisi istimewa. Mereka sangat berbangga dengan bapak-bapak dan keturunan. Dari situ mereka pun merasa bangga atas suami putri-putri mereka dan kedudukan mereka. Orang Arab tidak akan menikahkan putri mereka dengan orang-orang yang mereka pandang berderajat rendah. Hal ini sudah menjadi kebiasaan di kalangan mereka. Bahkan pandangan seperti itu juga terdapat pada bangsa-bangsa lain. Perbedaan etnis sampai masa sekarang pun masih merupakan kendala sosial di Barat.
Orang-orang Arab sedemikian cemburu terhadap para wanita mereka. Sehingga mendorong sebagian dari mereka mengubur hidup-hidup gadis-gadis mereka yang masih kecil, lantaran takut terkena malu. Bahkan seringkali terjadi pertumpahan darah dan timbul berbagai peperangan sebagai dampak dari hal-hal seperti itu. Ini merupakan suatu sinyal yang tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar. Kesan seperti itu masih tetap berlaku sampai sekarang, sebagaimana Anda ketahui.
PERIPARAN DALAM ISLAM
Islam datang dan menerapkan nilai-nilai budi luhur serta sifat-sifat terpuji. Islam melarang sikap-sikap buruk. Allah SWT menjelaskan, bahwa standar ukuran kemuliaan adalah "takwa". Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ.
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu."(QS: Al-Hujurat 13).
Ini menurut neraca syariat !!
Anda pun bisa mendapati para ahli fikih rahimahumullah membahas persoalan "al-Kafaa’ah" (kesepadanan)—berkaitan dengan agama, keturunan, bakat kemampuan, dan hal-hal terkait—melalui pembahasan panjang. Mereka membahas tentang apakah kesepadanan itu merupakan syarat bagi sahnya suatu akad nikah atau keharusan? Apakah itu merupakan hak bagi pihak istri ataukah melibatkan para wali? Dan sebagainya dalam pembahasan mereka seputar masalah pernikahan.
Berkaitan sikap menjaga kehormatan dan merasa cemburu kepada wanita, maka sebenarnya Nabi SAW menetapkan status syahid bagi orang yang berjuang mempertahankan kehormatannya. Beliau sendiri pernah turun memimpin peperangan demi seorang wanita yang dipermainkan penutup auratnya oleh seorang Yahudi. Kisah itu sangat dikenal, tentang pelanggaran yang dilakukan bani Qainuqa' atas janji antara mereka dengan Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Dikisahkan, seorang Yahudi meminta kepada seorang pemudi yang hendak membeli emas kepadanya agar ia bersedia membuka cadarnya. Tetapi pemudi itu menolak. Lalu Yahudi itu mengikat tepi baju gadis itu ketika ia sedang duduk tanpa sepengetahuannya. Tatkala pemudi itu berdiri, terbukalah pakaiannya. Lalu pemudi itu berteriak-teriak meminta tolong. Ketika itu di dekatnya ada seorang pemuda muslim. Ia pun segera menyerang Yahudi itu dan membunuhnya. Kemudian orang-orang Yahudi bersatu padu menyerangnya dan membunuh pemuda itu. Peristiwa ini hanya sebuah bukti yang menunjukkan mereka telah melanggar perjanjian mereka dengan Nabi, tapi juga ada peristiwa lain yang menunjukkan pelanggaran atas janji mereka.
Pembaca budiman...!! Perhatikanlah beberapa hukum syariat seperti dipersyaratkannya wali di dalam suatu akad nikah dan adanya saksi. Perhatikan pula hukuman bagi orang yang menuduh orang berzina, hukuman kepada orang yang berzina, dan hukum-hukum lain sejenis yang semuanya bertujuan menjaga kehormatan. Dengan mencermati adanya hukum-hukum tersebut beserta segala hikmah dan efeknya , niscaya akan jelas bagi Anda keajaiban syariat Islam dalam mengatur masalah ini.
Masalah pernikahan terkait dengan banyak hukum. Pikirkanlah perintah syariat tentang akad nikah (al-miitsaaq al-ghaliidh: janji nan teguh), dimulai dari proses pinangan. Dalam syariat peminangan memiliki tatacara sendiri. Bahkan adakalanya suatu pinangan bisa diterima juga bisa ditolak. Sehingga adakalanya orang yang hendak melamar meminta bantuan kepada keluarga atau sahabat-sahabatnya agar bisa memperoleh persetujuan. Lalu ia pun meminta kepada keluarga pihak perempuan untuk meminang si perempuan. Pihak perempuan memiliki hak untuk menerima atau menolaknya, setelah bertanya-tanya tentang si peminang. Bahkan sekali pun ia sudah memberi hadiah-hadiah atau menyegerakan maskawin dan sebagainya, mereka masih berhak untuk menolak lamaran tersebut selama akad nikah belum terjalin.
Akad nikah harus melibatkan para saksi. Menyebarluaskan rencana pernikahan juga merupakan tuntutan syariat. Untuk apa? Sebab, melalui suatu pernikahan akan muncul hukum-hukum baru. Yaitu mendekatkan hubungan yang jauh lalu menjadikan masing-masing "periparan" (hubungan ipar). Akibat pernikahan, seorang suami dilarang menikah dengan beberapa wanita selamanya.[6] Atau selama wanita itu masih menjadi istrinya.[7] Tetapi tujuan risalah ini bukan membahas panjang lebar soal ini, semata-mata tujuannya untuk menekankan keseriusan persoalannya untuk penjelasan selanjutnya.
Sekarang renungkanlah penjelasan berikut..!!
Contoh pertama:
Saudara perempuan Hasan dan Husein dinikahkan oleh bapaknya (alaihimussalam ajma'in) kepada Umar bin Khathab r.a.
Dapatkah kita katakan, bahwa Ali a.s. menikahkan putrinya atas dasar takut kepada Umar? Manakah keberanian Ali ? Mana pulakah rasa sayang beliau kepada putri beliau? Mungkinkah beliau akan menyerahkan putri beliau kepada orang zhalim? Manakah sikap kecemburuan beliau kepada agama Allah? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang tiada pernah berakhir.
Atau Anda katakan, bahwa Ali a.s. menikahkan putri beliau (Ummu Kultsum) kepada Umar atas dasar cinta kepada Umar dan senang kepada beliau. Memang Umar telah menikah dengan putri (cucu) Rasulullah SAW dengan pernikahan yang sah[8]. Pernikahan ini membuktikan adanya jalinan kasih sayang antara dua keluarga ini. Betapa tidak, bahkan Rasulullah SAW sendiri menikah dengan putri Umar. Dengan begitu hubungan ini telah terjalin erat di antara dua keluarga sebelum pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum (binti Ali alaihimussalam -pent).
Contoh kedua:
Cukuplah kiranya pernyataan Imam Ja'far ash Shadiq a.s. yang menyatakan: "Saya dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali!" Tahukah Anda siapakah ibu Ja'far? Beliau bernama Ummu Farwah binti Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar[9].(5).
Wahai para cerdik pandai: Mengapa Ja'far a.s. menyebut nama Abu Bakar, dan tidak menyebut Muhammad bin Abu Bakar? Memang, beliau terang-terangan menyebut nama Abu Bakar karena sebagian orang Syi'ah mengingkari keutamaan beliau. Sedang putra beliau Muhammad, Syi'ah sepakat atas keutamaannya. Sekarang bagaimana menurut Anda, dengan siapa seseorang berbangga?
Pembaca budiman...! Hubungan pernikahan antara para sahabat Muhajirin dan Anshar sudah jelas terjadi dan diketahui oleh para penelaah nasab. Bahkan dari kalangan mereka yang budak. Benar! Bahkan budak-budak itu menikah dengan para bangsawan (Sayyid) Quraisy. Contohnya; Zaid bin Haritsah r.a. Beliau adalah satu-satunya sahabat yang disebut namanya di dalam al Quran, yaitu di dalam Surat al Ahzab. Siapakah kiranya istri beliau? Istri beliau adalah Ummul Mukminin Zainab binti Jahasy (jelasnya; sebelum menjadi Ummul Mukminin -pent)
Dan ini, Usamah bin Zaid, beliau dinikahkan oleh Rasulullah shalallaahu'alaihi wa aalihi wa sallam dengan Fathimah binti Qais. Sedang Fathimah adalah wanita Quraisy[10]
Salim, seorang budak, dinikahkan oleh Hudzaifah radhiyallahu'anhum dengan putri saudaranya. Wanita yang bernama Hindun binti Walid bin Utbah bin Rabi'ah. Sedang ayah Hindun adalah salah seorang pemuka Quraisy[11].(7).
Pembahasan tentang periparan antara sahabat akan sangat panjang. Kita cukupkan dengan beberapa contoh saja yang mengisahkan pernikahan antara Ahlul Bait dengan Khulafa' ar-Rasyidiin.
Tahukah Anda, bahwa Umar r.a. menikah dengan putri Fathimah putri Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Begitu pula Ja'far ash-Shadiq a.s. sebagaimana telah dijelaskan, siapakah nenek beliau? Keduanya adalah cucu Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
Pembaca budiman...! Buanglah bisikan setan dari diri Anda. Hendaklah Anda memikirkannya secara sungguh-sungguh dan mendalam, sebab Anda adalah seorang muslim. Anda pasti memahami kedudukan akal. Sedang ayat-ayat al Quran yang menganjurkan agar Anda menelaah dan berpikir sangat banyak.
Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk memikirkan hal itu dengan akal pikiran kita. Hendaklah kita tinggalkan sikap ikut-ikutan dan taklid buta. Waspadalah agar orang-orang iseng tidak mempermainkan akal pikiran kita. Kami berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari godaan setan, baik dari kalangan manusia maupun dari jin.
Pembaca tercinta...! Relakah Anda jika kakek-kakek Anda dimaki-maki. Relakah Anda jika dikatakan, bahwa pimpinan para wanita Anda telah menikah di bawah tekanan. Sedangkan itu terjadi di hadapan keluarga Anda seluruhnya sedang mereka diam?
Relakah Anda manakala dikatakan bahwa hal itu sebagai perempuan kami yang dirampas? Sungguh masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang tiada berakhir.
Akal siapakah yang akan rela dengan ucapan keji seperti itu? Hati siapakah yang dapat menerima riwayat seperti itu?
Kami mohon kepada Allah, semoga tidak menjadikan ke dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang beriman. Wahai Allah, karuniai kami rasa sayang kepada orang-orang shalih dari kalangan hamba-hamba-Mu seluruhnya. Wahai Allah kabulkanlah kiranya, wahai Penguasa semesta alam.
Sebelum kita melanjutkan pembahasan ketiga, akan kami sajikan riwayat dari kitab-kitab Syi'ah yang dijadikan sandaran (mu'tamad) di kalangan orang-orang Syiah dan kalangan ulama mereka sendiri. Ulama Syiah menetapkan kebenaran riwayat pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum binti Ali (semoga Allah meridhai keduanya).
Imam Shafiyuddin Muhammad bin Tajuddin (yang dikenal dengan Ibnu ath-Thaqthaqi Al Hasani; wafat 709 H) bergelar pakar sejarah dan imam. Di dalam kitabnya yang dihadiahkan kepada Ashiluddin Hasan bin Nashiruddin ath-Thusi, teman dekat si "Hulagu", Ia memberi nama kitab tersebut dengan namanya. Di dalamnya menjelaskan putri-putri Amirul Mukminin Ali a.s. Dalam penjelasannya, ia menyebutkan: "Dan Ummu Kultsum, ibunya adalah Fathimah binti Rasulullah. Ia dinikahi Umar bin Khathab dan melahirkan putra bernama Zaid. Kemudian dinikahi oleh Abdullah bin Ja'far.”
Perhatikan juga pernyataan Muhaqqiq Sayyid Mahdi ar Raja'i. Di situ ia mengutip berbagai pernyataan. Juga terdapat penegasan (tahqiiq) dari Alamah Abul Hasan Al 'Umari yang berasal dari Umar bin Ali bin Husein di dalam kitabnya berjudul "Al Majdi". Ia menjelaskan: "Kesimpulan yang dapat disimpulkan dari riwayat-riwayat yang kami telaah tadi ialah Abbas bin Abdul Muthalib telah menikahkannya dengan Umar melalui kerelaan ayahnya a.s. dan atas seizinnya. Umar dan Fatimah memiliki seorang putra yang diberi nama Zaid."
Muhaqqiq tersebut juga menjelaskan berbagai pendapat, di antaranya riwayat-riwayat yang menyatakan: “Bahwa sebenarnya yang dinikahi Umar adalah setan yang berubah bentuk menjadi seorang wanita”. Atau menyatakan “bahwa beliau belum menggaulinya." Atau menyatakan “bahwa dia menikahinya dengan memaksa dan merampas” dan seterusnya.
Alamah Majlisi mengatakan: "... seperti itulah, Al Mufid mengingkari bahwa hal ini terjadi.” Maksudnya adalah menjelaskan bahwa riwayat itu tidak kuat dari jalur mereka. Jika tidak demikian, maka sesudah terdapat riwayat-riwayat seperti itu dan riwayat-riwayat --yang akan kami sebutkan-- dengan sanad-sanadnya yang menyatakan; “bahwa Ali a.s., tatkala Umar wafat, beliau pergi menuju rumah Ummu Kultsum, lalu membawanya pulang.” Dan riwayat-riwayat yang serupa, sebagaimana saya tuliskan di dalam kitab "Bihaarul Anwaar.". Suatu penolakan yang ganjil. Maka paling tepat kita katakana bahwa peristiwa itu terjadi karena taqiyah dan terpaksa …, dst." (Juz 2; hal. 45; dari kitab "Mir’atul 'Uquul").
Menurut pendapat kami: “Bahkan dijelaskan oleh pengarang kitab Al Kaafi, dan di berbagai hadits-hadits dalam kitabnya, di antaranya; bab Al Mutawaffa 'anha zaujuhaa alMadkhuul bihaa aina ta'taddu wa maa yajib 'alaihaa, dinyatakan; “bahwa Humaid bin Ziyad dari Ibnu Sama'ah, dari Muhammad bin Ziyad, dari Abdullah bin Sinan dan Mu'awiyah bin 'Ammar, dari Abi Abdillah a.s., ia berkata: "Saya bertanya tentang wanita yang ditinggal mati suaminya, adakah ia melaksanakan iddah di rumah sendiri atau sekehendak hatinya?" Beliau menjawab: "Sekehendak hatinya”. Sebab, Ali a.s. ketika Umar wafat, beliau datang kepada Ummu Kultsum dan membawanya pulang ke rumahnya." (Bacalah: Furuu'; dari kitab "Al Kaafi"; juz 6; hal. 115).
Pembaca budiman...!
Saya pernah membincangkan masalah ini dengan ulama Syi'ah yang hidup saat ini. Di antara jawaban yang paling bagus adalah apa yang dituliskan oleh Hakim Mahkamah Wakaf dan Waris, yaitu Syeikh Abdul Hamid Al Khathi. Beliau mengatakan sebagai berikut: "Adapun Ali a.s. yang menikahkan salah seorang pahlawan Islam dengan putri beliau Ummu Kultsum, maka itu bukan hal yang tercela. Beliau meneladani teladan baik Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam yang menjadi contoh bagi setiap muslim. Bahkan Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallama telah menikah dengan Ummu Habibah radhliyallahu 'anha binti Abu Sufyan. Sedang Abu Sufyan tidaklah seperti Umar bin Khathab r.a. Seluruh keraguan atas peristiwa ini tidak dapat diterima”. Adapun pendapat kalian... “bahwa setan telah menjelma kepada Khalifah Umar bin Khathab r.a., menjadi seperti Ummu Kultsum”, maka pendapat ini adalah pendapat yang menggelikan sekaligus menyedihkan. Tidak layak untuk diutarakan dan tidak ada dasarnya.
Sekiranya kita meneliti riwayat-riwayat dusta seperti ini, niscaya kita akan mendapati hal-hal yang menggelikan sekaligus membuat kita menangis.
Tapi Syeikh tersebut tidak menyinggung masalah yang sedang kita bahas kali ini. Artinya bahwa periparan merupakan bukti ikatan kekeluargaan. Sehingga hal itu tidak mungkin dapat terwujud, kecuali atas dasar rasa suka. Dan juga merupakan bukti rasa cinta, persaudaraan, serta ikatan di antara mereka.
Anda pun tentu memaklumi wahai pembaca budiman, bahwa pernikahan seorang muslim (laki-laki) dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan. Sedang pernikahan seorang lelaki Ahli Kitab dengan seorang wanita muslimah dilarang.
Renungkanlah hal itu!
ooo0ooo
KESIMPULAN
Hubungan Pernikahan di antara sahabat-sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam sangatlah jelas keberadaannya. Terlebih-lebih antara anak cucu Imam Ali a.s. dengan keturunan Khulafa' ar-Rasyidin radhiyallahu 'anhum. Demikian pula hubungan pernikahan antara Bani Umayah dengan Bani Hasyim sejak sebelum munculnya Islam. Yang paling terkenal adalah pernikahan antara Rasulullah SAW dengan putri Abu Sufyan radhliyallahu ajma'in. (Silahkan Anda perhatikan tabel pada akhir risalah ini).
Yang menjadi tujuan penjelasan kami di sini, ialah sebagai isyarat tentang kesan kejiwaan dan kesan sosial yang mendalam dari hubungan perkawinan tersebut., yaitu terjalinnya rasa kasih sayang di antara kedua belah pihak. Lebih dari itu, kesannya masih banyak lagi. Semoga dengan keterangan di atas sudah cukup. Semoga kita diberi taufiq!
ooo 0 ooo
PEMBAHASAN TIGA
BUKTI DARI PUJIAN-PUJIAN
Pembaca budiman ...!
Pernahkah Anda tinggal jauh dari tanah air bersama rekan-rekan sekampung Anda, keluarga, atau sanak kerabat Anda?
Bagaimana rasanya hidup lama jauh dari tanah air?
Pernahkah Anda hidup di kamp-kamp militer bersama mereka atau bersama orang-orang yang Anda sayangi?
Pembaca budiman ...!
Pernahkah Anda hidup di dalam keadaan miskin dan tertekan bersama sahabat-sahabat Anda; Anda hidup bersama mereka dalam ikatan satu akidah, pemikiran dan kasih sayang? Bagaimana pendapat Anda terhadap orang-orang yang hidup dalam situasi seperti itu? Mereka adalah sahabat dalam suasana suka dan duka. Apalagi di antara mereka terdapat manusia terbaik, Muhammad shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallama, sahabat-sahabat Nabi SAW? Terlebih-lebih mereka yang masuk Islam di awal tahun kenabian, mereka hidup dalam situasi seperti itu. Kehidupan mereka berbeda, yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang mempelajari sejarah kenabian, atau orang yang menaruh perhatian kepada kehidupan Nabi shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Pembaca budiman...!
Seraya Anda membaca tulisan-tulisan ini, marilah bersama saya sejenak mengunjungi sejarah Nabi SAW saat masih di Mekah. Ketika di rumah Arqam, dan berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian ketika Islam muncul dari tempat itu. Kemudian ketika sahabat-sahabat mulia beliau berhijrah menuju Habasyah. Sebuah negeri asing yang sangat jauh, kemudian pergi ke Madinah. Meninggalkan keluarga, harta benda, dan negeri tumpah darah. Renungkanlah kondisi ketika berada dalam perjalanan jauh yang sangat meletihkan. Sedang mereka berada di atas onta dan terkadang berjalan kaki. Mereka pernah hidup dalam ketakutan dan terkepung di Madinah ketika terjadi perang Khandak. Menembus gurun pasir pada waktu perang Tabuk. Mereka pernah mengalami kemenangan pada perang Badar, Khandak, Khaibar, Hunain, sebelum di Mekkah dan di daerah-daerah lain.
Renungkanlah kesan-kesannya terhadap jiwa kita. Memang, betapa kokoh jalinan kasih sayang dan persahabatan di antara sesama mereka. Dan jangan sampai lupa, Rasulullah SAW hadir bersama mereka. Beliau berperan selaku pemimpin, pendidik, dan pengajar bagi mereka. Hendaknya Anda juga ingat, bahwa Al Quran saat itu turun dari Rabb Penguasa semesta langit dan bumi kepada pimpinan kelompok ini, kepada Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Renungkanlah keadaan mereka itu. Hati mereka bersatu mencintai Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Renungkanlah dampak dari bersatunya hati mereka kepada Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Dan Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam sendiri bangkit membina mereka, hidup bersama mereka, bersamaan dengan turunnya al Quran kepada mereka. Marilah bersama-sama kita merenungkan kondisi dan situasi pada masa-masa itu.
Hal ini telah kami jelaskan pada buku sebelumnya tentang sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Tidak diragukan lagi, kesepakatan, rasa seia-sekata, dan cinta telah mempersatukan hati mereka. Allah Ta'ala berfirman:
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا.
"Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, maka menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara." (QS: Ali Imran 103)
Sekiranya Anda sudi merenungkan makna-maknanya. Sebagaimana pernyataan dari Allah SWT kepada para sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam, bahwa Dia telah berkenan "mempersatukan hati mereka". Inilah karunia Allah Ta'ala kepada para sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Dan tidak ada yang dapat menolak karunia Allah SWT.
Memang, ketika itu pernah ada permusuhan yang berkobar antara kabilah Aus dengan Khazraj. Namun kemudian Allah Ta'ala menyirnakan permusuhan ini, dan menjadikan gantinya dengan rasa cinta dan persatuan.
Pembaca budiman ...
Apa kiranya yang menghalangi Anda untuk beriman dan percaya pada pernyataan ini dan berbaik sangka kepada para sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam?. Sedang Rabb mereka Allah SWT telah memberi kesaksian dan menjelaskan kepada mereka adanya karunia-Nya kepada mereka. Mereka pun telah menjadi bersaudara, hati mereka menjadi jernih, tertanam di dalamnya rasa cinta, dan persatuan.
Yang kita perhatikan adalah keumuman lafadz nash, bukan pada sebab turunnya nash itu. Dan yang membuktikan segi umumnya adalah ayat al Quran sebagai berikut;
Allah Ta'ala berfirman:
وَإِنْ يُرِيدُوا أَنْ يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللهُ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ, وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
"Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS: Al Anfaal 62-63).
Pembaca budiman …!
Renungkanlah ayat-ayat tersebut, dan bacalah berulang-ulang. Sebab di dalamnya terkandung karunia Allah SWT kepada Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam dalam bentuk pertolongan dan juga kepada orang-orang beriman. Yang penting untuk kita tekankan adalah sekiranya Nabi shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam membelanjakan harta benda di bumi seluruhnya, niscaya beliau tidak dapat memperoleh yang seperti itu. Tetapi Allah SWT lah Sang Pemilik karunia.
Namun masih saja ada orang yang mengingkari setelah membaca kenyataan di atas. Orang yang mengingkarinya tidak bersedia menerima, bahkan menentang nash-nash. Ia beranggapan, sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam selalu saling bermusuhan di antara mereka.
Allah 'Azza wa Jalla telah menjelaskan kepada kita, bahwa Dia telah menyatukan hati mereka, mempersatukan mereka, dan menjadikan mereka saling bersaudara. Menjadikan mereka saling berkasih sayang. Tapi masih saja terdapat tulisan-tulisan dan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat selalu saling bermusuhan antar mereka!
Ayat-ayat yang memuji para sahabat radhiyallahu 'anhum sungguh banyak, sebagian telah kami sebutkan di atas. Juga terdapat ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat mereka dan tindakan-tindakan mereka. Di antaranya; sifat mengutamakan orang lain yang merupakan hasil dan bukti nyata dari adanya rasa cinta dalam hati.
Allah Ta'ala berfirman:
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ, وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلاَ يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
"(Juga) bagi para orang-orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Allah Ta'ala) dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman(Anshar) sebelum(kedatangan) mereka(Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS: Al Hasyr 8-9).
Pada penjelasan sebelumnya telah dipaparkan isyarat tentang berbagai penjelasan dari al Qur'an. Penjelasan tersebut berjumlah banyak, namun sengaja kami sekedar menunjukkan hubungan kasih sayang yang ada di antara sahabat. Untuk menekankan bahwa perasaan tersebut mengakar dalam diri para sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Sebagaimana Anda ketahui, bahwa sikap mengutamakan orang lain atas diri sendiri, persaudaraan, saling melindungi, dan saling berpadu hati, telah disebutkan dalam ayat-ayat al Qur'an yang menekankan keberadaan sifat kasih sayang antara mereka (cinta). Bahkan hal ini tidak hanya disebutkan dalam satu ayat. Renungkanlah ayat di atas. Di dalamnya menegaskan soal kasih sayang orang-orang Anshar terhadap orang-orang Muhajirin. Dan renungkan pula akhir ayat dari Surat al Fath.
Lebih lanjut, berikut kami sajikan kisah yang diriwayatkan Ali al Arbali di dalam kitabnya berjudul “Kasyful Ghummah” (jilid 2 hal 78; cetakan Teheran): Dari Imam Ali bin Husein 'alaihimassalam, beliau berkata: "Datang menghadap Imam beberapa orang dari Irak, mereka mencaci maki Abu Bakar, Umar, dan Utsman (radhliyallahu 'anhum). Ketika mereka sudah selesai berbicara, Imam berkata kepada mereka: "Apakah kalian mau menjawab pertanyaanku? Apakah kalian adalah kaum Muhajirin? (sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Orang-orang yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar." ? (QS: Al Hasyr 8).
Mereka menjawab: "Bukan."
Beliau kembali bertanya: "Apakah kalian termasuk orang-orang yang dinyatakan dalam firman Allah Ta'ala: ‘Orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan Muhajirin, mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin; dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin, atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka sendiri membutuhkan (apa-apa yang mereka berikan itu)."? (QS: Al Hasyr 9).
Mereka menjawab: "Bukan."
Beliau berkata lagi: "Kalian telah mengakui, bahwa kalian bukan termasuk salah satu dari dua golongan tersebut. Maka saya bersaksi, bahwa kalian juga bukan dari golongan orang-orang sebagaimana difirmankan Allah:
يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلاً للذين آمنوا
"Mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman." (QS: Al Hasyr 10).
Menyingkirlah kalian dariku, semoga Allah menghukum kalian!"
Demikianlah pemahaman Zainal Abidin Ali bin Husein (Alaihimassalam). Beliau adalah termasuk kalangan tabi'in. Bahkan telah banyak pujian sebagian mereka terhadap sebagian yang lain dalam kitab-kitab, baik di dalam kitab-kitab Ahlussunnah maupun di dalam kitab-kitab Syi'ah.
Orang yang meneliti kitab "Nahjul Balaghah", niscaya akan mendapati banyak khutbah dan isyarat-isyarat yang jelas. Isyarat-isyarat tersebut keseluruhannya memuji para sahabat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Kami pilihkan salah satu di antaranya, karena di dalamnya terdapat kutipan dari ayat al Quranul Karim.
Imam Ali a.s. berkata: "Sungguh saya sudah menyaksikan sahabat-sahabat Muhammad shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam, namun saya tidak melihat satu orang pun yang menyerupai kalian. Siang hari mereka lusuh berdebu, namun melalui malam hari dengan sholat. Berdiri laksana berada di atas bara karena karena ingat akhirat. Di antara dua mata mereka terdapat tanda karena banyak bersujud. Manakala teringat Allah, mengucurlah air mata mereka, sampai membasahi baju mereka. Meliuk laksana pohon kokoh yang ditiup angin badai, takut akan azab dan berharap pahala."
Ucapan beliau a.s. di dalam memuji para sahabat sangat panjang. Sementara cucu beliau Imam Zainal Abidin juga mempunyai buku yang mengandung doa bagi para sahabat Rasulullah SAW dan juga puji-pujian terhadap mereka. Bisa Anda dapati, masing-masing Imam-imam (alaihimussalam) banyak mengutarakan pernyataan-pernyataan memuji para sahabat (radhiyallahu 'anhum). Ada banyak riwayat yang menjelaskan pujian-pujian terhadap Khulafa' ar-Rasyidin (Khalifah Empat yang lurus) dan Ummahaat Mukminiin (Ibu-ibu bagi orang beriman) dan sahabat lainnya. Sekiranya kalau dihimpun, tentu akan menjadi kitab yang berjilid-jilid.
Pembaca budiman...
Kiranya saya sudah terlalu banyak berbicara kepada Anda, meskipun saya telah berupaya untuk meringkaskannya. Maka saya mohon agar dimaklumi, dan mohon kepada Allah Yang Maha Pemurah, kiranya semua itu akan mendatangkan manfaat bagi diri saya sendiri dan juga bagi Anda. Namun kita harus menjelaskan hakikat kebenaran secara lengkap. Saya berharap kiranya Anda dapat bersabar bersama saya untuk sesaat lagi. Sebab risalah ini sudah hampir selesai, hanya tinggal sebuah penjelasan singkat tentang kedudukan Ahlul Bait dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah. Agar dengan begitu Anda memahami (semoga Anda dibimbing Allah), bahwa Ahlussunnah sangat bersungguh-sungguh berpegang teguh pada al Quranul Karim. Mereka pun berpegang teguh kepada keluarga Ahlul Bait Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam (Al `Itrah). Hal ini memerlukan pembahasan tersendiri. Yang mana sebelumya sudah dijelaskan tentang kasih sayang yang ada di antara sesama sahabat Nabi shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam seluruhnya. Termasuk di dalamnya para kerabat beliau SAW dan orang-orang istimewa yang dimasukkan bersama beliau di dalam kerudung (kisaa’). Maka pada penjelasan berikut akan kami jelaskan beberapa hak Ahlul Bait sebagaimana diterangkan ulama Ahlussunnah rahimahumullahu Ta'ala.
SIKAP AHLUSSUNAH TERHADAP AHLUL BAIT NABI (ALAIHIMUSSALAM)
Di dalam tata bahasa dan peristilahan dijelaskan, Ahlul Bayt berarti keluarga seseorang. Kata "at-Ta’ahhul"; artinya "menikah/berkeluarga". Demikian menurut al Khalil(1). Kata "Ahlul Bayt"; artinya "Penghuni rumah". Kata "Ahlul Islam"; artinya, orang yang beragama Islam (2).
Berkaitan dengan kata "Al Aalu” dinyatakan dalam Kitab Mu'jamu Maqaayis al Lughah, makna kata: "Aalu ar-Rajuli"; artinya penghuni rumahnya (3). Ibnu Mandhur menjelaskan: "Aalu ar-Rajul" artinya keluarganya. Kalimat "Aalullaahi wa rasuulih"; artinya para wali-Nya. Asal katanya "Ahlun" namun kemudian huruf "ha” ditukar dengan "hamzah/a" sehingga menjadi "aal". Manakala dua "hamzah" bertemu menjadi satu, lalu diganti lagi menjadi "Alif" (panjang) (4).
Kata itu pada umumnya ditujukan untuk kehormatan. Sehingga tidak boleh mengatakan "Aalul Haaik", yang berarti "keluarga si tukang jahit". Berbeda penggunaan dengan kata "Ahlu" sehingga boleh mengatakan "Ahlul Haaik". "Baitu ar-Rajuli": bermakna rumah dan kehormatan seseorang(5).
1) Silahkah baca kitab "Al 'Ain"; (4/28).
2) Ash-Shahaah; (4/1628). "Lisaanul Arab"; (11/28).
3) Mu'jam Maqaayiis Al Lughah; (1/161).
4) Lisaanul Araab; (11/31). Juga yang seperti itu, oleh Al Ashfahani, dalam kitab "Al Mufradaat fii ghariibil Qur-aan"; hal. 30.
5) Lisaanul Araab; (2/15).
Apabila disebut kata "Al Bait", maka mengarah pada makna Baitullah, yaitu Ka'bah. Sebab, hati orang beriman tertambat ke sana. Jiwa manusia menjadi tenteram di dalamnya, karena ka’bah adalah kiblat seluruh kaum muslimin. Sebutan "Ahlul Bayt" pada masa jahiliyah, dikhususkan hanya kepada orang-orang yang tinggal di sebuah rumah. Namun sesudah Islam, apabila dikatakan Ahlul Bayt, maka yang dimaksud adalah keluarga Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam[12].
MAKNA AHLUL BAIT NABI SHALALLAAHU 'ALAIHI WA AALIHI WA SALLAM
Para ulama berselisih pendapat di dalam menjelaskan siapa saja Aalul Bayt Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Pendapat-pendapat yang masyhur adalah:
1) Ahlul Bait adalah mereka yang diharamkan menerima harta sedekah. Ini pendapat Jumhur Ulama.
2) Mereka adalah anak cucu Nabi shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam, dan istri-istri beliau. Pendapat ini dikeluarkan oleh Ibnul Arabi di dalam "Ahkaamu al Quran", dan beliau mempertahankan pendapat tersebut. Ada juga yang menganut pendapat ini dengan mengeluarkan istri-istri Nabi SAW dari predikat Aalul Bayt.
3) Yang dimaksud dengan Ahlul Bait Nabi shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam, adalah pengikut-pengikut beliau sampai Hari Kiamat. Pendapat tersebut dipertahankan Imam an-Nawawi di dalam penjelasannya terhadap kitab Shahih Muslim dan penyusun kitab "Al Inshaaf". Ada juga ulama yang membatasi ahlul bait hanyalah orang-orang yang bertakwa saja, yang mengikuti Nabi Pilihan shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam.
Tetapi pendapat yang paling kuat adalah yang pertama.
SIAPAKAH YANG DIHARAMKAN MENERIMA SEDEKAH ??
Mereka adalah bani Hasyim dan bani Abdul Muthalib. Pendapat ini merupakan pendapat yang kuat. Seperti itu pulalah pendapat Ulama Jumhur. Ada juga ulama yang membatasinya sebatas Bani Hasyim saja, tidak termasuk Bani Abdul Muthalib.
Dalam pandangan Syi'ah Imamiyah Itsna Asyariyyah, yang dimaksud dengan Ahlul Bait Nabi shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam adalah para imam yang berjumlah dua belas saja. Mereka menjelaskannya panjang lebar dan tidak mungkin kita sertakan di sini. Dalam Syi’ah terjadi perbedaan besar antara kelompok-kelompok Syi’ah menyangkut masalah ini. Karena itulah timbul perpecahan dalam Syi’ah. Silahkan baca kitab berjudul "Firaqu asy-Syii'ah” oleh An Naubakhti.
SIKAP AHLUSSUNNAH TERHADAP AALU RASUL SHALALLAAHU 'ALAIHI WA AALIHI WA SALLAM
Seluruh kitab Ahlussunnah yang membahas Akidah pasti terdapat di dalamnya pembahasan mengenai Ahlul Bait Nabi. Hal itu menunjukkan pentingnya permasalahaan ini, sehingga para ulama membahas masalah ini dalam buku akidah yang menyangkut keyakinan penting kaum muslimin. Sebagian Ulama ada yang menyusun buku khusus yang membahas masalah Ahlul Bait.
Inti keyakinan Ahlussunnah terhadap Ahlul Bait adalah sebagaimana ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam "Al 'Akiidah Al Waasithiyyah" melalui bahasan yang sangat singkat. Dalam buku itu beliau rahimahullah menjelaskan: "Mereka mencintai Ahlul Bayt Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Mengangkat mereka pada kedudukan terhormat, menjaga wasiat Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam mengenai diri mereka sebagaimana beliau SAW bersabda pada Hari Ghadir Khum: "Kuperingatkan kalian kepada Allah berkaitan dengan Ahlul Baytku..".[13]
Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam juga bersabda kepada Abbas paman beliau. Ketika itu mengadu kepada beliau bahwa beberapa orang Quraisy bersikap kasar terhadap Bani Hasyim: "Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, mereka belum beriman sehingga mencintai kalian karena Allah dan karena (kalian adalah) kerabatku.”.[14]
Beliau SAW juga bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Ismail, dan memilih dari kalangan Bani Ismail itu Kinanah, dan memilih dari Kinanah itu Quraisy, dan memilih dari Quraisy itu Bani Hasyim, dan memilih diriku dari Bani Hasyim."[15].
Inilah keterangan dari seorang Imam yang dipandang Syi’ah sebagai orang yang paling memusuhi mereka karena bukunya yang berjudul Minhajussunnah, yang ditulis untuk membantah Ibnu Mutahhar al Hulli.
RINCIAN TENTANG HAK-HAK MEREKA
Rincian hak-hak mereka adalah sebagai berikut:
Pertama hak-hak cinta dan loyalitas.
Pembaca budiman...
Tentu sudah Anda maklumi, bahwa mencintai setiap mukmin maupun mukminah adalah wajib menurut syariat. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya tentang mencintai dan wala` kepada Ahlul Bait Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Sikap kecintaan dan wala` ini bersifat khusus dan tidak dapat disamakan dengan yang lain, yaitu atas dasar sabda beliau SAW: "karena mereka adalah kerabatku."
Adapun yang paling utama, yaitu (cinta) semata-mata karena Allah. Termasuk di dalamnya persaudaraan dan perwalian seiman serta cinta kepada seluruh muslimin secara umum. Sebab seorang muslim adalah saudara seiman. Dengan begitu mencakup seluruh kaum muslimin termasuk Ahlul Bait Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Lalu Nabi SAW menetapkan kecintaan yang bersifat khusus bagi kerabat beliau, yang didasarkan atas hubungan kekerabatan mereka dengan Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Allah Ta'ala berfirman:
قل لا أسائلكم عليه أجراً إلا المودة في القربى
"Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali hendaknya kalian menghormati hubungan kekerabatanku dengan kalian semua." (QS: Asy-Syuura 23)
Inilah makna dari hadits yang sesuai dengan pemahaman yang sesungguhnya di dalam ayat tersebut. Sebab, ada di kalangan ahli-ahli tafsir yang mengatakan: "Kalian mencintaiku karena hubungan kekerabatanku dengan kalian." Sebab Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam, beliau mempunyai hubungan pada seluruh cabang kabilah Quraisy. Maksudnya; mencintai dan menghormati mereka adalah karena kekerabatan mereka kepada Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam. Dan itu bukan merupakan kewalian yang bersifat umum kepada setiap muslim.
Kedua: Hak Shalawat atas Mereka
Demikian pula soal bershalawat kepada mereka. Allah Ta'ala berfirman:
إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya". (QS: Al Ahzab 56)
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya, dari Abu Mas'ud al Anshari r.a., ia berkata: "Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam menghampiriku di majelis Sa'ad bin Ubadah. Lalu Bisyir bin Sa'ad berkata kepada beliau: "Allah Ta'ala telah memerintahkan kepada kami agar bershalawat kepadamu wahai Rasulullah. Bagaimanakah cara kami bershalawat?"
Katanya: "Lalu Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam diam, sehingga kami memandang beliau, sehingga kami menyesal telah menanyai beliau. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Ucapkanlah ALLAAHUMMA SHOLLI 'ALAA MUHAMADIN WA 'ALAA AALI MUHAMMADIN KAMAA SHOLLAITA 'ALAA IBRAAHIIM. WA BAARIK 'ALAA MUHAMMADIN WA 'ALAA AALI MUHAMMADIN KAMAA BARAKTA 'ALAA IBRAAHIIM, FIL 'AALAMIINA INNAKA HAMIIDUM MAJIID”
(Wahai Allah, karuniakanlah kiranya shalawat kepada Muhammad dan Aalu Muhammad sebagaimana shalawat yang telah Engkau karuniakan kepada Ibrahim. Dan karuniakan pulalah kiranya berkah kepada Muhammad beserta Aalu Muhammad sebagaimana berkah yang telah Engkau karuniakan kepada Ibrahim. Di semesta alam ini, Engkaulah Yang Maha Terpuji lagi Maha Tersanjung).
Sedang cara mengucapkan salam adalah sebagaimana telah Anda pahami!"([16]).
Seperti itu juga hadits Abu Hamid as Saa'idi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dalil tentang masalah ini sangat banyak. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan: "Sebenarnya shalawat tersebut adalah hak khusus bagi mereka, tidak mencakup seluruh kaum muslimin, para imam tidak berbeda pendapat dalam masalah ini." ([17]).
Shalawat seperti ini dikenal dengan Shalawat Ibrahimiyyah.
Ketiga: Hak Khumus (Seperlimaan)
Demikian pula dengan hak khumus bagi mereka. Allah Ta'ala berfirman:
واعلموا أنما غنمتم من شيء فأن لله خمسه وللرسول ولذي القربى واليتامى والمساكين وابن سبيل
"Ketahuilah, sesungguhnya rampasan perang yang kamu dapat, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil."(QS: Al Anfaal 41)
Juga terdapat banyak hadits-hadits lain. Bagian khusus ini adalah teruntuk bagi Kerabat Nabi SAW. Rampasan perang tersebut masih tetap disalurkan kepada mereka walaupun setelah Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam wafat. Hal ini berdasarkan pendapat Ulama Jumhur yang memang benar secara syar’i.([18]).
Penjelasan:
Hak-hak mereka sangat banyak. Kami telah menjelaskan hak yang terpenting dari hak-hak tersebut. Hak tersebut hanya khusus bagi mereka yang jelas keIslamannya dan terbukti nasabnya bahwa mereka adalah Ahlul Bait dan ditambah dengan baiknya amal perbuatan.
Rasul kita Shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam memperingatkan pada kita agar tidak hanya bersandar kepada nasab keturunan. Begitu juga dengan sikap Nabi shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam di Mekah dalam sebuah peristiwa yang masyhur. Beliau bersabda: "Wahai segenap orang-orang Quraisy, tebuslah diri kalian sendiri di hadapan Allah. Saya tidak sedikit pun dapat menolong kalian di sisi Allah. Hai Abbas bin Abdul Muthalib, saya tidak dapat sedikit pun menolong kamu di sisi Allah. Hai Shafiyah, bibi Rasulullah -shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam-, saya tidak dapat sedikit pun menolong kamu di sisi Allah. Hai Fathimah putri Muhammad, mintalah kepadaku dari hartaku sekehendak hatimu, sedikit pun saya tidak dapat menolong kamu di sisi Allah." (HR. Bukhari).
Kita sudah mengetahui ayat yang diturunkan terhadap Abu Lahab.
Semoga Allah melindungi kita dari siksa neraka.
SIKAP AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH TERHADAP NAWAASHIB (ORANG-ORANG YANG MEMBENCI AHLUL BAIT)
Untuk melengkapi perbahasan tentang kedudukan Ahlul Bait Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam menurut Ahlussunnah wal Jamaah, maka kami akan menjelaskan sikap Ahlussunnah terhadap Nawaashib.
Kata an-Nashabu menurut tata bahasa berarti menegakkan sesuatu dan mengangkatnya. Juga disebutkan; Naashibatu Syarra wal Harba; Penyulut huru-hara dan perang. Sedang di dalam kamus dinyatakan, kata "Nawaashib", kata "Naashibah", dan kata "Ahlu Nashab" berarti orang-orang yang membenci Ali (a.s.) dan menganggap kebencian mereka kepada Ali sebagai ibadah. Sebab mereka; "nashabuu lahu", yakni memusuhi beliau.
Itulah asal katanya. Jadi, setiap orang yang membenci Ahlul Bait, maka ia tergolong Nawaashib.
Pembaca budiman...
Sikap dan pujian ulama Ahlussunnah terhadap Ali dan putra-putri beliau (alaihimussalam) sudahlah jelas. Kami, Ahlussunnah, bersaksi, bahwa Ali, Hasan, dan Husein (alaihimussalam) kelak berada di dalam surga bersama kakek. Hal itu sudah sangat jelas. Alhamdulillah.
Kami akan memperjelasnya di sini tentang sikap Ahlussunnah terhadap orang-orang Nawashib dan betapa Ahlussunnah berlepas diri dan membenci nawashib. Ini termasuk masalah sangat penting. Sebab, masalah ini merupakan penyebab berbagai perpecahan dan perselisihan di kalangan umat Islam. Anda akan menyaksikan adanya orang-orang yang akan memanfaatkan perpecahan ini. Mereka akan membahas persoalan-persoalan yang menyulut perpecahan dan selalu menambah-nambahinya di setiap kesempatan yang mereka dapatkan. Bahkan adakalanya tanpa memandang situasi dan kondisi, mereka menambah-nambahi dengan berbagai ucapan yang menyulut fitnah dan mengobarkan api perpecahan. Atau dengan ucapan-ucapan penuh kebohongan, tipudaya, dan semata-mata adalah dusta.
Anda akan mendapati adanya orang-orang yang mengatakan, bahwa Ahlussunnah membenci Imam Ali dan putra-putrinya (alaihimussalam). Lidah orang-orang itu dengan mudah mengarang dan membuat-buat kedustaan. Paling tidak dia mengulang-ulang riwayat-riwayat dan kisah-kisah khayal tentang kebencian Ahlussunnah terhadap Imam Ali a.s. Sementara Ahlussunnah sendiri telah meriwayatkan banyak hadits-hadits tentang keutamaan beliau. Bahkan tidak Anda dapati sebuah kitab hadits pun, kecuali di dalamnya dijelaskan tentang keutamaan-keutamaan Imam Ali (a.s.) dan sejarah emas dari kehidupan beliau.
Pembaca budiman...
Pernyataan Ahlussunnah terhadap Nawaashib sudah jelas. Kiranya cukup dengan mengutip pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta'ala. Beliau dianggap oleh Syi'ah sebagai ulama Sunni yang paling keras memusuhi mereka. Bahkan beliau menyusun ensiklopedi terbesar tak terbantahkan yang membantah ajaran Syi'ah. Beliau rahimahullah menjelaskan: "Mencaci Ali dan mengutuk beliau, termasuk tindakan durhaka yang layak untuk digolongkan sebagai sifat "Kelompok Pendurhaka" (ath Thaifah al Baaghiyah)”. Sebagaimana diriwayatkan Bukhari di dalam kitab Shahih beliau, dari Khalid Al Hadza', dari Ikrimah, ia berkata: "Ibnu Abbas berkata kepadaku dan kepada putra beliau Ali: "Pergilah kalian berdua kepada Abu Sa'id dan dengarkanlah oleh kalian hadits dari beliau!"
Lalu kami pun berangkat. Ternyata beliau sedang membenahi pagar rumahnya. Beliau mengambil selendangnya, lalu mengikatkannya pada dua kakinya. Selanjutnya menceritakan hadits kepada kami. Sehingga ketika beliau menjelaskan tentang pembangunan masjid, lalu beliau berkata: "Ketika itu kami mengangkat batu bata satu demi satu, sedang Ammar (mengangkatnya) dua demi dua. Ketika itu Nabi -shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam- melihatnya, lalu beliau mengibaskan debu dari tubuh Ammar. Beliau bersabda: "Aduh Ammar! Ia akan dibunuh oleh kelompok pendurhaka (Al Fiah Al Baaghiyah). Dia mengajak mereka ke surga, sedang mereka mengajaknya ke neraka."
Katanya: "Lalu Ammar berkata: "A'udzu billaahi minal fitan." (Saya berlindung kepada-Nya dari fitnah).
Diriwayatkan Muslim yang juga dari Abu Sa'id. Ia berkata: "Saya diberitahu oleh orang yang lebih mulia dari diri saya, yaitu Abu Qatadah, bahwa Rasulullah -shala-llaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam- bersabda kepada Ammar ketika ia sedang menggali parit. Beliau SAW mengusap kepalanya seraya bersabda: "Alangkah malang Putra Sumayyah, ia akan dibunuh oleh kelompok pendurhaka."
Muslim juga meriwayatkan dari Ummu Salamah, dari Nabi -shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda: "Ammar akan dibunuh kelompok pendurhaka."
Kisah ini membuktikan sahnya khilafah Ali (a.s.), dan membuktikan bahwa kaum muslimin wajib patuh kepada beliau. Orang yang mengajak untuk mematuhi beliau sama dengan mengajak ke jannah. Orang-orang yang mengajak untuk memerangi beliau sama dengan mengajak ke neraka meskipun atas dasar takwil. Hadits itu merupakan dalil yang melarang kaum muslimin memerangi Ali a.s. Dengan ini pula, orang yang memerangi beliau merupakan pihak yang keliru atas dasar takwil, atau sengaja memeranginya walaupun tidak berdasar pada dalil. Itulah pendapat yang paling benar di antara dua pendapat mazhab kami. Artinya, menetapkan hukum bahwa mereka yang memerangi Ali berada di pihak yang salah. Itulah pendapat mazhab para imam fuqaha yang mengambil kesimpulan bahwa diperbolehkan memerangi para pembangkang walaupun mereka memiliki dalil dan takwil dari peristiwa itu."[19]
Renungkanlah penjelasan beliau berikut ini:
Setelah Beliau berpanjang lebar membahas sikap Ahlussunnah terhadap Yazid, mendudukkan persoalannya serta menjelaskan perbedaan pendapat yang terjadi mengenai Yazid, maka beliau mengatakan: "Orang yang telah membunuh Husein dan yang turut serta membantu membunuh beliau, atau pun mereka rela atas pembunuhan itu, maka semoga ia dikutuk oleh Allah, para malaikat, dan segenap umat manusia.".[20]
Dengan ini semua, layakkah seorang penceramah atau seorang yang sok pintar menuduh Ahlussunnah, dengan mengatakan bahwa mereka adalah golongan Nawashib? Padahal pernyataan itu tadi adalah pernyataan salah seorang imam Ahlussunnah.
SEKILAS
Saudaraku yang mulia, mungkin timbul berbagai pertanyaan dalam diri Anda seputar keterangan-keterangan dalam risalah ini, Juga tentang sejarah terjadinya perang Shiffin dan perang Jamal di antara sesama sahabat Nabi radhillahu 'anhum. Sebab, yang mana pada masing-masing kelompok terdapat sejumlah sahabat, namun mayoritas mereka berada di pihak Ali dan juga Ahlul Bait (alaihimussalam). Hal ini membutuhkan penjelasan dan pembahasan tersendiri. Kami memohon kepada Allah, agar berkenan membantu diri kami untuk dapat menyelesaikannya dan menjelaskan hakikat peristiwa itu.
Saya memperingatkan diri saya sendiri dan juga Anda semua terhadap firman Allah SWT :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ . . .
"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara… dst." (QS: Al Hujurat 9-10).
Jadi, Allah meyebut kedua belah pihak dengan orang beriman sekalipun mereka saling berperang. Ayat tersebut begitu jelas, sehingga tidak memerlukan keterangan panjang lebar. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang beriman meskipun terjadi peperangan di antara mereka. Demikian juga dengan firman Allah SWT:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ.
"Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik." (QS: Al Baqarah 178).
Ini hukuman terhadap orang yang membunuh secara sengaja. Allah SWT masih menegaskan perihal persaudaraan imani antara si pembunuh dengan pihak yang terbunuh. Jadi, kejahatan membunuh yang bernilai keji, yang hukumannya sangat keras seperti dijelaskan Allah, tidaklah mengeluarkan mereka dari lingkaran iman. Dan si pembunuh masih saudara seiman dengan keluarga pihak yang terbunuh. Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS: Al Hujurat 10).
Untuk persoalan ini dibutuhkan sebuah risalah yang khusus -sebagaimana telah dijelaskan-. Semoga Allah membantu saya untuk menyelesaikannya dalam waktu dekat. Insya Allah Ta'ala.
PENUTUP
Segala puji bagi Allah, Yang telah mengaruniakan kepada kita rasa cinta kepada Nabi SAW, keluarga beliau orang-orang mulia, dan juga para sahabat beliau orang-orang bijak.
Pembaca tercinta...
Setelah kita hidup bersama-sama dengan Ahlul Bait Rasulullah yang suci (kiranya shalawat serta salam terlimpah kepada mereka semua), dan juga bersama para sahabat beliau SAW yang bijak (kiranya mereka semua diridhlai Allah Ta'ala)... setelah kita hidup bersama mereka dan memahami jalinan kasih sayang di antara sesama mereka, baik dalam wujud silaturrahim, periparan, saling menyayang, persaudaraan, maupun keterpaduan hati, sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam al Quranul Karim….
Maka kita harus bersungguh-sungguh memohon kepada Allah, Rabb semesta alam, kiranya berkenan membimbing diri kita ke jalan yang disukai dan diridhai-Nya. Agar menjadikan diri kita termasuk ke dalam golongan sebagaimana dinyatakan dalam Kitab-Nya yang mulia. Ketika sesudah memuji kepada orang-orang Muhajirin dan Anshar, lalu Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ جَائُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَِلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ.
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman sebelum kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".(QS: Al Hasyr 10).
Sebagaimana ditegaskan oleh Zainal Abidin (a.s.): "Pernah ada sejumlah orang dari Irak datang kepada Imam, lalu mereka berkata: "Mereka mencela Abu Bakar, Umar, dan Utsman (radhiyallahu 'anhum)...” Ketika mereka selesai berbicara, beliau berkata kepada mereka: "Maukah kalian menjelaskan kepada saya, apakah kalian termasuk orang-orang yang digelari "Al Muhaji-ruuna Al Awwaluun" yang terusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka karena mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya?"
Mereka menjawab: "Bukan !"
Beliau kembali bertanya: "Apakah kalian termasuk orang-orang Anshar yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan Muhajirin? Padahal mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Mereka juga tiada menaruh keinginan dalam hati terhadap apa-apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin. Mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam keadaan perlu?"
Mereka menjawab: "Bukan!"
Beliau berkata: "Kalian sendiri sudah mengakui tidak tergolong salah satu dari kedua golongan tersebut itu. Saya pun bersaksi, bahwa kalian bukan tergolong orang-orang yang dinyatakan oleh Allah:
يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَِلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا.
"Mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman."
Menyingkirlah kalian dariku, semoga Allah menghukum kalian!" (Kitab "Kasyful Ghummah"; juz 2; hal. 78; edisi Iran).
Meskipun bukti kebenaran telah jelas dan gamblang serta hujjah telah ditegakkan, seseorang tidak mungkin terlepas dari Padukanya Yang Mahamulia lagi Mahatinggi. Sebagaimana dimaklumi, Allah 'Azza wa Jalla yang telah menolong Rasul -shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam-dengan mukjizat gemilang dan dengan al Quranul Karim yang disebut oleh Allah sebagai "Cahaya yang Nyata" (Nuurul Mubiin), serta didukung budi pekerti luhur Rasul -shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam-. Ditambah lagi dengan kekuatan penjelasan beliau, kefasihan, penampilan dan perkataan yang benar, serta beliau memahami karakter penduduk Mekah sejak masih kanak-kanak sampai masa beliau diutus menjadi Rasul. Dalam kondisi demikian pun, masih banyak dari kalangan penduduk Mekah yang masih tetap kafir sampai datangnya Fathu Makkah. Oleh karena itu, kita wajib bersungguh-sungguh dalam berdoa, memohon petunjuk dan keteguhan di atas kebenaran. Kita wajib untuk tetap mengikuti kebenaran bagaimana pun situasinya. Sebab hidayah hanya datang dari sisi Allah 'Azza wa Jalla.
Saudaraku budiman...
Ingatlah, bahwa diri Anda dituntut untuk melaksanakan seluruh perintah Allah. Allah akan meminta tanggung jawab seluruh perbuatan Anda. Oleh karena itu, jangan sampai Anda memegang ucapan seorang melebihi firman Allah SWT. Sebab, Allah telah menurunkan al Quran kepada Anda dengan bahasa Arab yang jelas. Allah juga telah menjadikan al Quran selaku petunjuk dan penawar bagi orang-orang beriman. Menjadikan al Qur’an tertutup bagi selain orang-orang beriman. Sebagaimana hal itu dijelaskan oleh Allah SWT:
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ فِي ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى.
"Katakanlah: "al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka." (QS: Fushshilat 44).
Oleh karena itu, carilah petunjuk dari al Quran ini. Semoga Allah mengaruniakan bimbingan kepada Anda ke arah yang diridhaiNya.
Saudaraku yang diberkahi...
Perhitungan amal baik buruk tiap-tiap orang berada di sisi Allah SWT, sedangkan manusia tidak berhak untuk itu. Bahkan syafaat yang diberikan bagi orang-orang shalih pun memiliki berbagai persyaratan. Wajib bagi kita untuk menghindarkan diri dari sikap lancang terhadap Allah SWT dalam menghukumi hamba-Nya.
Kita tidak akan rugi jika mencintai Ahlul Bait Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa aalihi wa sallam dan juga sekaligus menyayangi para sahabat-sahabat Nabi (radhliyallahu ajma'in). Bahkan sikap itulah yang sesuai dengan al Quranul Karim dan hadits-hadits yang shahih.
Renungkanlah!
Pada akhirnya, hendaklah kita bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah SWT, agar mencabut perasaan benci dari hati kita terhadap para sahabat Nabi. Kita juga berdoa semoga Allah memperjelas kepada kita jalan kebenaran. Semoga Allah berkenan membantu diri kita menghadapi setan. Sesungguhnya Dialah Sang Pelindung dan hanya Dia yang dapat membantu kita.
Allah-lah yang lebih mengetahuinya.
Semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, para keluarga beliau, dan juga para sahabat beliau.
TABEL PERNIKAHAN
ANTARA KELUARGA BANI HASYIM
DENGAN :
MEREKA YANG TERMASUK SEPULUH ORANG DIJAMIN MASUK SURGA
No | Keluarga bani Hasyim | Mereka yang lain | Kitab-kitab rujukan |
1 | Rasulullah shalallaa-hu 'alaihi wa aalihi wa sallam | Aisyah binti Abubakar As Shiddiq. Hafshah binti Umar. Ramlah binti Abu Sufyan. | Semua kitab rujukan |
2 | Ummu Kultsum binti Ali | Umar bin Khathab | Berbagai kitab rujukan, dan sudah kami jelaskan sebelumnya |
3 | Fathimah binti Husein | Abdullah bin 'Amru bin Utsman bin Affan. | Al Ashlu fi Ansaabi athThaalibiin; hal. 65.; oleh Ibnu ath-Thaqthaqi. 'Umdatu ath-Thaalib fii Ansaabi Aali Abi Thalib; hal. 118 oleh Ibnu 'Utbah dan mereka yang lain. |
4 | Shafiyah binti Abdul Muthalib (bibi Rasulullah SAW) | Awwam bin Khuwailid. Melahirkan bagi beliau Zubeir bin Awwam sebelum Islam. | Segenap rujukan, baik dari kalangan Syi'ah maupun Sunah. |
5 | Ummu Hasan binti Hasan bin Ali bin Abi Thalib | Menikah dengan Abdullah bin Zubeir. Dan tetap tinggal bersamanya sampai wafat. Seusai beliau terbunuh, lalu diambil oleh saudaranya bernama Zaid. | Muntaha Al Amaal; hal. 341.; oleh Syeikh Abbas Al Qumi. Taraajimu Nisaa'; oleh Muhammad alA'la; hal. 346. Dan kitab-kitab lain. |
6 | Ruqayyah binti Hasan bin Ali bin Abi Thalib | Menikah dengan 'Amru bin az-Zubeir bin Awwam | Muntaha Amaal; hal. 341.; oleh Abbas alQu-mi. Taraajimu an-Nisaa'; oleh Muhammad al A'la; hal. 346. Dan kitab-kitab lain. |
7 | Husein Al Ashghar bin Zainal Abidin | Menikah dengan Khalidah binti Hamzah bin Mush'ab bin az-Zubeir | Taraajimu an-Nisaa'; hal. 361.; oleh Muhammad Al A'la. |
Dan masih banyak lagi yang lain. Di samping itu, pernikahan Sukainah binti Husein dengan Mush'ab bin Zubeir cukup masyhur sehingga tidak perlu pembahasan. Periparan mereka yang berikutnya dan catatan-catatan sejarah menyangkut hal itu bisa didapati dalam berjilid-jilid kitab yang jumlahnya sangat banyak.
- Selesai –
[1]. Di dalam kitab berjudul "Bihaarul Anwaar"; Majlisi menyusun satu bab (yang dalam bahasa Indonesia) berjudul "Bahwa para imam lebih alim dibanding para nabi"; Juz. 2; hal. 82. Baca juga Ushul Al Kaafi; juz 1; hal. 227.
[3]. Di rumah kita pasti ada Al Qur’an dan terjemahannya, apakah kita pernah membaca terjemahan ayat ini?-editor-
[4]. Silahkan baca kitab berjudul "Tasmiyatu Al Mauluud"; oleh Al Alamah asy-Syeikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid
[5]. Silahkan baca kitab berjudul "Kasyful Ghummah" (2/334), "al-Fushuul al-Muhimmah"; hal. 283.
Demikian pula segenap "imam-imam dua belas", Anda akan mendapati nama-nama tersebut di dalam keturunan mereka. Masalah ini juga dibahas para ulama Syi'ah dan mereka menyebutkannya di dalam kitab berjudul "Yaumu ath-Thaff"; hal 17-185. Untuk sekedar contoh, silahkan baca "A'laamu al-Waraa" oleh ath-Thabrisi; hal. 203. Juga "al-Irsyaad"; oleh al-Mufid; hal. 186. "Taarikh al-Ya'quubi" (2/213).
[8]. Berikut nanti akan kami jelaskan kutipan-kutipan dari ulama Syi'ah yang mengakui pernikahan ini, dan juga mereka yang menolaknya dengan berbagai tuduhan-tuduhan.
[9]. Sedang ibunya bernama Asma' binti Abdur Rahman bin Abu Bakar. Silahkan baca "'Umdatu ath-Thaalibiin"; hal. 195; edisi Dahran. Juga "Al Kaafi"; juz 1; hal. 472.
[10]. Riwayat Muslim; bab tentang Fathimah binti Qais radhliyallahu 'anha.
[11]. Al Bukhari; bab tentang Aisyah radhliyallahu 'anha.
[12]. Al Mufradaat fii ghariibil Qur-aan"; hal. 39. Bahkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menyusun sebuah risalah khusus dalam hal ini, demi memperjelas pemahaman, yaitu di dalam kitab "ash-Sholaatu 'alaa khoiril anaam". Silahkan Anda merujuk padanya. Dan juga merujuk pada prakata kitab "Al Muhaqqiq". Telah banyak kitab-kitab yang membahas persoalan ini. Dari sini akan jelas bagi Anda betapa perhatian ulama Ahlussunnah dengan persoalan ini.
[13]. Riwayat Muslim dan mereka yang lain. Dalam kitab "Fadhaa-ilu ash-Shahaabah; bab "Fadhlu 'Ali 'alaihis salaam"; 15/188.
[14]. Diriwayatkan Ahmad di dalam "Fadhlaa-ilu ash-Shahaabah". Beliau menjelaskannya secara panjang lebar. Yang penting, pemahaman seperti itu benar, sebab ada penegasan ayat menyangkut hal itu.
[15]. riwayat Muslim
[16]. Muslim di dalam kitab "ash-Shalaah"; bab "ash-Shalaatu 'ala an-Nabiyyi ba'da at-Tasyahhud" (1/305); No. 405.
[18]. Silahkan baca kitab "Al Mughni" (9/388), juga di dalam "Risaalah ash-Shaghiirah"; oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkaitan hak-hak Ahlul Bait, yang mendapat pujian dari Abu Turab adh-Dhahiri.
[19]. Majmu' Fataawa; oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (4/437).
[20]. Ibid (4/487).